Mengapa Indonesia Menentang Adanya Perkawinan Sesama Jenis ?
Banyak hal yang selalu menjadi perdebatan dalam kehidupan masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri, salah satunya ialah keberadaan dari kaum homoseksual. Pasti selalu ada kubu yang menentang dan yang menerima, serta kubu yang netral (antara mendukung dan menentang). Situasi ini juga terjadi di negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana pandangan yang mendominasi adalah menentang keberadaan kaum homoseksual ini.
Rasa ketertarikan dengan sesama jenis bukan berasal dari gen yang ada dalam tubuh manusia, melainkan penyakit yang menyerang mental seseorang. Perilaku menyimpang ini bisa jadi bersumber dari dalam diri (internal) seperti seseorang yang tidak bisa mengendalikan emosinya, serta nalar yang “berbeda” jika dibandingkan dengan orang normal pada umumnya. Selain itu, faktor eksternal juga bisa mendukung seseorang untuk melakukan penyimpangan ini seperti pergaulan sosial, faktor pendidikan, dan kualitas keharmonisan dalam keluarga.
Dalam ilmu Sosiologi, perkawinan sesama jenis termasuk dalam suatu perilaku yang menyimpang (biasa disebut deviasi). Dimana perilaku tersebut bertentangan dan bertolak belakang dengan nilai, norma, serta etika yang berlaku dalam masyarakat.
Mulai
dari norma agama, di dalam norma tersebut terdapat peraturan hidup berupa perintah, anjuran dan
larangan yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Semua agama atau kepercayaan yang
ada di Indonesia (seperti Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu dan
Konghucu) mempunyai pendapat yang sama dalam memandang perkawinan sesama jenis,
yakni menentangnya. Hal ini dikarenakan perilaku tersebut sudah melanggar
fitrah manusia. Selain itu, Tuhan pun sebenarnya sudah menjadikan manusia
saling berpasang-pasangan.
Dalam
agama Islam, perkawinan sesama jenis termasuk dalam tindakan yang melanggar perintah
Tuhan, melanggar kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya
serta melanggar sunnatullah. Dimana
perempuan sudah dipasangkan dengan laki-laki, bukan laki-laki dengan laki-laki atau
perempuan dengan perempuan (sesama jenis).
Maka
dari itu, Islam memberikan pandangan yang konkret terhadap adanya kaum
homoseksual di Indonesia, yakni menolak keberadaannya serta meyakini bahwa
aktivitas yang mereka lakukan tersebut bertentangan dengan ajaran agama karena
termasuk dosa besar.
Selain itu, perkawinan
sesama jenis juga melanggar norma sosial. Dimana norma ini berperan dalam pembentukan
keteraturan sosial dan mengurangi adanya penyimpangan sosial dalam kehidupan
masyarakat. Karena perkawinan sesama jenis
termasuk dalam penyimpangan, maka dapat dikatakan bahwa perkawinan sesama jenis
juga melanggar norma sosial. Dijauhkan, dikucilkan, dicibir bahkan dianggap
sebagai orang “aneh” oleh orang-orang yang ada di sekitar merupakan bentuk dari
sanksi sosial yang akan diterima oleh pelaku same sex marriage (perkawinan sesama jenis).
Adanya
perkawinan sesama jenis di Indonesia juga melanggar norma hukum yang ada di
Indonesia itu sendiri. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 pasal 1, dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau seringkali
disebut rumah tangga yang bahagia sesuai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lalu bagaimana dengan
perkawinan sesama jenis? Tentu sudah
dapat dipahami jawaban terkait pertanyaan tersebut. Perkawinan sesama jenis
tidak dibenarkan sebagai bentuk dari hal yang dapat dikatakan normal. Pada
dasarnya, pandangan perkawinan dalam undang-undang tersebut adalah sebagai
ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan guna
membentuk rumah tangga, membuahkan keturunan serta menegakkan ajaran dari agama
yang dianut.
Bagi pasangan sesama jenis,
hal seperti itu tidak dapat dipenuhi karena jika perbuatan tersebut dilakukan,
maka bukan hanya menyebabkan perbuatan yang menyimpang atau deviasi, melainkan
juga mengakibatkan perbuatan dosa.
Pada Pasal 2 ayat (1)
UU Perkawinan juga dijelaskan bahwa perkawinan dikatakan legal/sah apabila dilaksanakan
berdasarkan hukum masing-masing kepercayaan dan agamanya. Artinya negara
mengembalikan lagi hal tersebut kepada agama dan kepercayaan yang dianut oleh
masing-masing individu. Indonesia memang
bukan termasuk dalam negara agama, namun Indonesia menganut asas Ketuhanan yang
Maha Esa, dimana nilai-nilai keagamaan harus diutamakan dalam kehidupan.
Perkawinan sesama jenis
juga berkaitan dengan norma kesopanan, norma yang bersumber dari adat istiadat,
sopan santun, dan kebiasaan seseorang dalam kehidupan masyarakat. Norma kesopanan
yang ada di Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebudayaan timur,
dimana kebudayaan ini memiliki norma, etika serta moral yang lebih ketat
dibandingkan kebudayaan barat. Berdasarkan pernyataan tersebut, tentunya sudah
dapat dipastikan bahwa perkawinan sesama jenis di Indoensia dianggap sebagai
perilaku yang melampaui batas wajar.
Perilaku menyimpang
tersebut juga bisa melunturkan bahkan merusak nilai budaya dan adat
isitadat masyarakat Indonesia. Jadi,
perkawinan sesama jenis bertentangan dengan norma ini karena melanggar etika dalam
berperilaku dan merusak nilai kebudayaan yang ada di Indonesia.
Hubungan antara perkawinan sesama jenis dengan ideologi Pancasila
Jika
seseorang yang terlibat dalam perkawinan sesama jenis menuntut hak untuk diakui
komunitasnya di Indonesia, maka jawabannya adalah tidak bisa. Bahkan dengan mereka
menuntut haknya tersebut saja sudah tidak dapat dibenarkan dan termasuk dalam
pertentangan. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan ideologi yang ada di negara
Indonesia yakni Pancasila.
Budaya
yang ada di Indonesia merupakan budaya ketimuran, dimana budaya ini menjunjung
tinggi norma yang berlaku dalam
masyarakat. Sehingga ideologi negara (Pancasila) dibuat/dibentuk sedemikian
rupa agar isinya mencerminkan sifat dan perilaku yang ada dalam kebudayaan ini.
Oleh karena itu, perkawinan sesama jenis tidak dapat dibenarkan karena
melanggar beberapa norma yang ada di Indonesia seperti norma agama, norma
sosial, norma hukum serta norma kesopanan.
Dalam
Pancasila dijelaskan pada sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” yang
artinya manusia harus bersikap adil terhadap manusia lainnya dan juga harus
memanusiakan manusia. Namun, kembali lagi, dalam menafsirkan setiap sila dari
Pancasila tidak bisa dilakukan secara parsial (satu per satu atau hanya sebagian
dari keseluruhan saja).
Pancasila mempunyai keunikan tersendiri, dimana dari sila pertama hingga sila kelima mempunyai hubungan yang berkaitan satu sama lain dan yang menjadi acuannya adalah sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, seseorang yang terlibat dalam perkawinan sesama jenis tidak bisa menuntut hak untuk diakui komunitasnya di Indonesia karena perbuatan tersebut bertolak belakang dengan poin dari sila pertama dalam Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Aryanata, N. T. (2016). Melegalkan Perkawinan Sesama Jenis di Indonesia. Jurnal Psikologi Ilmiah 8 , 2-4.
I Ketut Oka Setiawan, A. (2010). Perkawinan Campuran dan
Sesama Jenis Dalam Perspektif Hukum Perkawinan di Indonesia. Themis Jurnal
Hukum, 49-52.
Mansur, S. (2017). Homoseksual dalam Perspektif Agama-Agama
di Indonesia. Media Neliti, 35-56.
Shabah, M. A. (2020). Perkawinan Sebagai HAM. 28-29.
Widyawati Boediningsih, E. W. (2020). Penerapan Pembatasan Yudisial (Judicial Restraint) Bagi Pelaku LGBT ( Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016) . Jurnal Narotama, 245 dan 249.
Zuhri, M. A. (2015). Perkawinan Sejenis Dalam Kajian Islam.
Jurnal UIN, 89-95.
Komentar
Posting Komentar